Hari kemarin, tak biasanya, saya ingin sekali untuk pulang ke kampung halaman. Mungkin sudah terlalu lama tak menengok dan menanyakan kabar ibu secara langsung di depan matanya.
Di tengah perjalanan sempat ada beberapa musibah, dari menyenggol mobil yang ngerem mendadak sampai ban belakang motor bocor. Tak berpikir ribet, saya terima kejadian itu dengan lapang dada. Menyenggol mobil (mungkin) sebagai bentuk pelajaran, agar kedepannya lebih berhati-hati. Kejadian ban bocor, dijadikan sebagai silaturahmi dengan masyarakat setempat.
Benar sekali, ketika menemui tukang (jasa) tamban ban, saya ditakdirkan untuk ditemukan dengan tukang (jasa) tamban ban yang ramah dan low profil sekali. Ia menyapa duluan dengan berkata, 'dari mana mau kemana ini teh?', dengan nada khas sundanya. Saya pun meladeni pertanyaan bapak itu dengan jawaban yan setimpal, "dari bandung, pak. Mau pulang ke rumah." saya akhiri jawaban dengan senyuman manjah. Wuih.
Berhubung keliatannya bapak ini enak sekali diajak ngobrol, saya pun mulai (sok) asyik dengan bapak itu sambil si bapak menambal ban motor saya yang sedang terluka itu. *baper...
Lama kami ngbrol ngalor-ngidul, sampai tiba ke cerita keluarga si bapak. Ia ternyata punya keturunan—kalau kenaikan itu harga sembako— yang sukses-sukses. Anak pertama, jadi anggota polisi di daerah cirebon, anak kedua jadi PNS bagian irigasi di Bandung, anak ketiga bekerja di salah satu perusahaan, anak keempat dapet beasiswa di universitas ternama di Bandung juga. Saya seketika itu langsung berucap ke si Bapak, "wah hebat bener, pak, bisa menjadikan anak-anaknya ke tempat yang lebih dari profesi ayahnya."
Namun, ucapan saya disambung dengan pernyataan si Bapak yang tak kalah mencengangkannya. "lho, jangan heran, dek, saya dulunya itu PNS di bawah kementerian pekerjaan umum. Jadi sempat mampu menyekolahkan anak-anak ke instasi pendidikan yang layak." ujarnya.
Saya disitu kadang merasa sedih. Bukan, maksud saya, disitu saya benar-benar gak ngira bahwa bapak ini pensiunan PNS, yang sampai sekarang masih mendapatkan gajih pensiunan. Dari pada saya mati penasaran, saya pun mulai kepo hasanah ke si Bapak ini, "lho, kok, bisa, sih, pak? Bapak kan, pensiunan PNS, anak-anak bapak pun sudah mapan-mapan. Kok, bapak masih mau buka jasa tambal ban?"
Jawaban si Bapak yang membuat saya faham, bahwa di dunia ini masih ada orang yang berhati mulia dan belian emas permata. Jawab si Bapak, "saya mau nolong orang lain, dek, yang ban motornya bocor." emang di lokasi tempat ban motor saya bocor, itu jauh dari keramaian. Saya disitu seperti ingin mengangkat secangkir kopi—walau,gak ada secangkir kopi disitu—kepada si Bapak, atas sikap mulia yang dimilikinya. ~speechless
Komentar
Posting Komentar