Semenjak kekisruhan pilpres 2014 empat tahun yang lalu. Bangsa Indonesia seolah-olah terbagi menjadi kedua bangsa. Yang pertama, bangsa pendukung Jokowi. Dan yang kedua, bangsa yang masih militan mendukung Prabowo.
Seiring berjalannya waktu, kedua golongan ini perlahan-lahan mulai memiliki nama panggilan kesayangan dari lawannya masing-masing. Dimana pendukung Jokowi, kerap dipanggil 'Cebong' dan golongan pendukung Prabowo sering dipanggil 'Kampret'. Tentunya, kedua nama ini memiliki alasannya masing-masing kenapa timbul nama kedua tersebut.
Konflik yang seakan-akan menjadi bola api ini semakin membara dan membesar. Meski banyak pihak yang mencoba meredam dan berniat untuk mengikisnya, tapi seolah-olah usaha itu hanya menjadi pekerjaan sia-sia. Karena jika salah satu saja terlihat membela salah satunya, maka akan dicap bahwa ia adalah bagian golongan darinya yang harus dimusuhi dan dijauhi. Kadang ada yang tidak seperti itu, tapi pihak tersebut tidak terlalu digubris nasihatnya. Karena mereka sudah terlalu asyik untuk membenci lawannya ini.
Hal yang lebih parahnya, ketika kedua belah pihak ini sudah menjudge bahwa salah satu golongan mengklaim mereka adalah satu agama, yang mana setiap umat beragama tertentu haruslah menjadi bagian darinya. Kalau tidak, maka akan dikatakan; munafik, khianat, dapat disuap oleh duniawi dan umpatan-umpatan yang tak jauh lebih kasar lainnya.
Secara terus terang, bahwa agama yang dimaksud adalah agama Islam. Agama mayoritas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Mereka seolah-olah mengharuskan, umat Islam harus mendukung salah satu dari kedua tokoh bangsa ini. Prabowo dan Jokowi. Jika saja, ada umat Islam yang mendukung yang mereka tidak sukai, maka umpatan-umpatan seperti yang sudah disebutkan diatas, akan keluar dari mulut mereka.
Padahal, apa salahnya jika ada beberapa pihak yang menyukai apa yang mereka tidak sukai. Mendukung siapa yang mereka tidak dukung. Memilih apa yang mereka tidak pilih. Karena seharusnya, mereka bisa lebih faham, bahwa bangsa manusia hanya dapat dipersatukan, tidak untuk diseragamkan.
Terakhir, saya ingin bertanya, saya seorang Muslim. Saya menempuh pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri, saya lahir dari rahim seorang ibu yang Insya Allah hatinya bersikukuh menyembah Tuhan yang satu. Lalu, apakah saya salah hanya karena menjadi seorang pendukung, penyuka dan pemilih Bapak Ir. Joko Widodo?
Foto dari, Google Picture.
Komentar
Posting Komentar