“Membaca Novel ‘Tahun Tanpa Tuhan’, aku tertawa sejadi-jadinya, tertegun, termenung, terkagum-kagum, dan terluka sejadi-jadinya pula.”
Kembali A Mughni—Sanghyang Mughni Pancaniti—melahirkan karya dahsyatnya dengan menghadirkan sebuah buku yang berjenis novel ke permukan. Kenapa saya menggunakan diksi ‘kembali’, karena novel ‘TAHUN TANPA TUHAN’ merupakan karya pertama penulis yang tersalip oleh karya keduanya, yang berjudul, ‘PERPUSTAKAAN KELAMIN: Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan’ (Semesta Institute. 2016). Jadi saya menganggap, ini adalah karya kedua A Mughni yang dapat dinikmati oleh seluruh penghuni alam semesta.
Dari novel ‘TAHUN TANPA TUHAN’, A Mughni tidak hanya menulis sebuah kisah, namun juga memberikan pengalaman berharga yang diperuntukkan bagi para pembaca. Dimana cinta yang kerap diartikan hal sepele dan sering menjadi bahan ejekan, akan tetapi di tangan penulis melalui sosok Maula, cinta begitu agung yang harus dirawat secara suci dan sakral. Bagaimana tidak, karena rasa cinta dari Maula terhadap Salma mengalahkan jiwa penghambaannya kepada Tuhan yang selama ini Maula agung-agungkan dan damba-dambakan. Maula yang notabene seorang yang pernah nyantri selama enam tahun dan juga telah dikalungkan gelar seorang ustadz oleh teman sejawatnya, karena senantiasa memberikan nasihat-nasihat kepada teman-temannya tersebut. Bahkan bagi Bajat, sosok lain dari novel ini, merasa tak pantas harus menyebut nama Maula, Bajat yang sebenarnya lebih tua dari Maula, selalu memanggil Maula dengan panggilan, ‘Guru’, Maula merasa tak mampu untuk menahan rasa cinta terhadap Salma yang begitu besar. Keagungan Salma bagi kehidupan Maula, tak dapat tertandingi oleh apa pun, bahkan Tuhan sekali pun!
Kemahiran penulis dalam mengkemas kisah ini juga dengan menghadirkan dialog-dialog yang terdengar konyol dan mengundang tawa. Seperti di awal kisah halaman pertama, Maula menanyakan perihal organisasi Islam yang dijunjung tinggi oleh Salma. “....(Organisasi Islammu) masih Syari’at Islam yang digembor-gemborkan?” tanya Maula. “Tentu!” jawab Salma “Aku kira beralih ke Syari’at Setan” goda Maula. Juga di pertengahan kisah di halaman 69, penulis juga menyisipkan tentang keragaman dari keluhan para temannya yang mencurahkan isi hatinya di jejaring media sosial facebook. Salah satu di antaranya yang mengundang gelak tawa adalah dari keluhan teman Maula yang bernama Dendi. Dendi menulis di laman facebooknya, “Tahun 2011 nanti, gak ada yang ngehina aku jomblo lagi, karena aku sudah bunuh diri.” Dari dialog-dialog dan suguhan semacam ini, seolah penulis tidak hanya ingin memberi luka kepada pembaca tapi juga tawa!
Sebagaimana pernyataan yang pernah dilontarkan oleh seorang filsuf asal Francis, Jean-Paul Sartre, “....novel itu tinggi bila dilihat dari segi kosakatanya.” tulis Sartre dalam karyanya yang berjudul, KATA-KATA. Kisah cinta Maula dan Salma yang disuguhkan dalam novel TAHUN TANPA TUHAN ini pun, sarat kosakata atau pembedaharaan kata yang tinggi pada apa yang disajikan oleh penulis, pembaca akan menemukan beberapa diksi yang nampak pas dan beragam—bahkan, tak jarang penulis menggunakan bahasa daerah yang menjadi latar belakang kisah cinta Maula. Bandung. Sunda—yang digunakan oleh penulis untuk memaparkan kisah yang sarat konflik ini.
Dari konflik yang ada, menjadikan para pembaca merasakan rasa tertegun dalam dada, karena konflik yang ada pada kisah Maula dan Salma, terbilang berbelit-belit namun gamblang di akhirnya. Bukan hanya konflik saja yang tengah dihadapi oleh Maula, melainkan juga denga permasalahan keyakinan terhadap agama yang ia anut kadang tidak selaras dengan Budaya Sunda sebagaimana tempat asal-muasal Maula, dan permasalahan Maula tidak hanya sampai disitu, Maula pun kian memendam tanya, tanya tentang siapa orangtua kandungnya, karena orangtua yang selama telah mengasuh dan membesarkan Maula memecahkan rahasia, jika mereka bukanlah orangtua kandung Maula, akan tetapi hanya orangtua angkat yang telah mengadopsi Maula. Sementara konflik yang disuguhkan oleh penulis pada kisah ini, Salma yang tampak sebagai gadis lugu dan membuat setiap mata yang memandang terkagum-kagum pada saat melihatnya karena keteduhan dari cara ia berpakai, mesti diterpa isu yang kurang sedap, bahwa Salma pernah ‘tidur’ dengan Bajat, orang yang telah lama dikenal oleh Maula, kabar ini datang dari istri Bajat, Indah. Kabar ini sudah tentu membuat Maula geram. Murka. Namun hal yang akan pembaca termenung, penulis membuat cerita terlihat seru dengan berhasil menjadikan Maula percaya dengan alasan Bajat untuk meyakinkan kembali hati Maula. Konflik antara Maula, Salma, Bajat, dan Indah terdesus berulang sampai melibatkan Sholihin yang menjadi mantan pacar Salma. Dari sini, luka yang mengincar perasaan Maula telah menemui sasaran untuk siap-siap diluluh-lantahkan. Namun sebelum ke tahap itu, Salma berhasil berpura-pura untuk menjadi kekasih Maula, akan tetapi pada akhirnya, Salma benar-benar menghancur-leburkan perasaan dan hati Maula dengan sesuatu yang tak dapat disangka-sangka oleh siapa pun. Biadab!
Saya rasa, kita harus menyelami lebih dalam lagi perihal kisah cinta Maula kepada Salma ini. Agar lebih pandai merasakan luka sebab cinta yang memang selalu berlebihan. Ya, cinta memang selalu berlebihan. ~
Komentar
Posting Komentar